“Slow Fashion“ bukanlah sebuah tren dalam dunia
fashion, melainkan sebuah gerakan yang muncul akibat persepsi keadaan
lingkungan sekarang ini. Dunia industri fashion kebanyakan telah menyadari
globalisasi perdagangan, mass production atau produksi masal yang memungkinkan
cepatnya peredaran barang fashion dari desaigner turun hingga ke-retailer.
Setiap retailer tersebut menjual barang-barang yang sedang tren dengan harga
yang terjangkau pasar luas. Dengan begitu konsumer dapat berbelanja dengan
mudah barang apa saja yang mereka inginkan bukan mereka butuhkan. Alhasil
tingkat konsumsi menjadi berlebihan dibalik harga-harga barang tersebut yang
akhirnya berentetan dengan keadaan lingkungan meluas.
Hari ini industri fashion memiliki tantangan yang
cukup besar dalam menghadapi keberlangsungan masa depan. Dimana industri
fashion harus mulai menyadari pengaruh industri mereka pada lingkungan. Apabila
meningkatnya konsumerisme pada masyarakat maka meningkat pula produksi barang,
yang pada akhirnya akan menghabiskan sumber daya alam pada proses produksinya.
Salah satu contohnya dalam industri fashion
garment, banyaknya penggunaan air dalam memproduksi kapas (cotton) yang mengakibatkan daerah setempat
kekeringan, penggunaan warna dalam proses dyeing menyebabkan pencemaran .
“Slow Fashion” mempresentasikan gagasan “eco”,
“ethical”, “ green” dalam satu kesatuan gerakan untuk menekankan tingkat
konsumsi masyarakat terhadap barang fashion. Penggagas gerakan tersebut adalah
Kate Fletcher yang juga menulis buku “Sustainable Fashion and Textile”. Dalam sebuah
interview, Kate mengatakan bahwa sustainability
tidak dapat hanya ditekankan pada pihak industri fashion saja, ataupun para desainer
saja tetapi pada seluruh masyarakat luas yang memiliki kesadaran terhadap
lingkungan sekitar dan menginginkan perubahan. Ia ingin menekankan pada
masyarakat pengguna barang fashion untuk kembali meningat-ingat kenapa mereka
membeli barang tersebut, menyadari apa yang mereka suka dan alasan kenapa
mereka membeli barang tersebut. Dengan begitu mereka akan ingat dengan produk
tersebut, dan menyadarai bahwa produk tersebut masih berpotensial untuk dipakai
dan dipadupadankan dengan gaya lain. Dari situ mereka akan mulai memiliki
kesadaran tentang produk-produk yang telah mereka punya daripada membeli produk
baru.
Selain Kate, The New School for Design and the Center for
Sustainable Fashion at the London College of Fashion membuat sebuah proyek “
Local Wisdom” untuk merubah pola pikir masyarakat tentang membeli dan memakai
produk fashion. Dalam proyek ini mereka mengajak masyarakat datang kesebuah
tempat yang telah mereka sediakan dengan membawa satu stel pakaian dan produk
fashion lainnya yang mereka anggap penting dalam setiap penampilan mereka, yang
kemudian mereka akan melakukan photoshoot bersama komunitas fotografi. Dalam
foto tersebut akan terkumpul beberapa cerita unik tentang bagaimana orang-orang
menggunakan dan peduli terhadap pakainnya yang kemudian terbentuk serangkaian
cerita aneh tentang pakaian dan orang-orang yang hidup di kota besar seperti
New York.
"Slow fashion" bisa dikatan sebuah fashion revolution, yang baiknya disadari oleh siapa saja, tidak hanya bagi industri besar ataupun komunitas-komunitas fashion, tetapi juga semua orang yang hidup dikota besar yang berada diperputaran dunia fashion. Kesadaran tersebut sebenarnya tidak memperlukan pengorbanan yang besar, hanya saja memperlukan tekad dan niat yang tulus dalam mengontrol nafsu konsumtif terhadap barang fashion. Bayangkan saja apabila kita dapat menekan nafsu kita berbelanja dalam sebulan, kita dapat menabung uang tersebut tiap bulannya dan akhirnya dapat digunakan untuk kebutuhan lain seperti liburan atau hal lainnya. Beberapa perilaku yang dapat meningkatkan kesadaran "slow fashion" yaitu, using craft, repair your old clothes, mix and match, make relathionship between things (dengan mengingat kembali cerita pakain tersebut, kenapa membeli pakain itu, telah melakukan apa saja dengan pakaian tersebut).
Source :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar